Ketika anak kehilangan Ayah untuk selamanya, dunia seperti runtuh dan meninggalkan luka yang sulit diobati. Momen ini memang sulit dilewati, tapi kita harus yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
Parents, beberapa waktu lalu Bumin dapet cerita dari Ibu Nanda Ayu, ia kehilangan sosok suami sekaligus Ayah bagi anak lelakinya. Sang suami meninggal karena Covid-19 pada 28 Juli lalu, Si Kecil yang masih berusia 4 tahun sering menunjukkan kesedihan sepeninggalan Ayahnya.
Sewaktu Ayah masuk rumah sakit, si Kecil mulai sering rewel. Ketika Ayahnya dinyatakan meninggal, ia semakin meluapkan emosinya. Beberapa hari ia sering marah, teriak, kadang memukul barang di sekitarnya bahkan diri sendiri.
Kesulitan semakin dirasa Ibu Nanda, sebelumnya mereka menjalani Long Distance Marriage (LDM). Suami di Kalimantan, ia dan Si Kecil tinggal di Surabaya. Biasanya setiap malam mereka video name sambil bercerita tentang rutinitas seharian, bagaimana perasaan mereka pada hari itu, sambil bersenda gurau.
Menjalani LDM memang nggak mudah, maka itu waktu cuti Ayah adalah saat yang paling dinanti. Ibu Nanda dan Si Kecil sering kali diajak suami untuk berlibur dan menghabiskan waktu bersama.
Nggak selalu liburan, ada waktu mereka hanya di rumah untuk saling membalas rasa rindu. Sakit rasanya saat sadar kalau itu semua jadi tinggal kenangan.
“Biasanya kami nice time most important sama anak. Begitu suami meninggal, rutinitas itu hilang, nggak ada lagi yang kami nanti, nggak ada yang kami tunggu untuk pulang, hilang sudah perhatian dari suami. Kami kehilangan kepala keluarga dan Ayah yang kami cintai,” cerita Ibu Nanda pada Bumin.
Anak kehilangan ayah
Kenangan yang mendalam itu menjadi kesulitan lain dalam menenangkan si Kecil yang masih balita. Walaupun bisa dibilang jarang bertemu, si Kecil sangat dekat dengan Ayahnya, merasa punya sosok pahlawan, teman, bahkan orang yang disegani.
Si Kecil yang bernama Arjuna, masih bisa tegar ketika mengantarkan Ayah ke peristirahatan terakhir. Ia bilang, “Juna sedih Bunda, Juna sekarang nggak punya Ayah, nggak bisa dadah-dadah pesawat Ayah, kalau Ayah meninggal bisa hidup lagi nggak, Bunda?”
Ibu Nanda hanya bisa menguatkan anaknya dengan menghadirkan kakek dan paman Juna, mereka berusaha mengisi kekosongan hati Juna yang kehilangan Ayah.
Kesedihan Ibu Nanda semakin bertambah dengan kondisi finansial. Saat menikah, suami nggak mengizinkan untuk bekerja. Sampai akhirnya 6 tahun sudah terbiasa menjadi Ibu Rumah Tangga, situasi ini menjadi kesulitan tersendiri bagi Ibu Nanda.
Munculah keraguan dalam hati dan pikiran Ibu Nanda, “Apa saya bisa membesarkan anak? Menyekolahkan anak sampai dewasa dan sukses? Bagaimana membesarkan anak kehilangan Ayah?”
Parents, kehilangan sosok suami dengan anak yang masih kecil menjadi beban yang cukup berat. Rasanya perjalanan yang akan ditempuh masih sangat jauh dan entah bagaimana medannya, namun dalam perjalanan itu tiba-tiba kita nggak punya seseorang untuk saling berpegangan.
Dalam hal ini, Bumin bertanya pada psikolog Ibu Sani Hermawan, ia mengatakan yang harus pertama kita lakukan adalah menghadapi dulu kondisi anak yang sedang terpuruk. Jadi kita dan anak saling menguatkan satu sama lain, setelah kita bisa menerima keadaan dan kembali berpikir jernih, maka sudah saatnya kita untuk menata ulang kehidupan.
Life need to pass on.
Anak kehilangan ayah
Ibu Sani menambahkan, kita harus bisa menyelesaikan proses kesedihannya terlebih dahulu. Saat masih dalam suasana duka, tentunya kita butuh waktu untuk menyendiri, butuh guide device untuk menemani si Kecil bermain agar rasa sedihnya teralihkan.
Selain itu, kita bisa berbicara soal dukungan pada keluarga besar, apa saja yang kita butuhkan pada saat ini dan masa depan. Nggak ada salahnya untuk meminta anggota keluarga menemani kita selama masa duka, biarkan dulu diri ini bersedih untuk sementara waktu.
“Kita butuh berdialog dengan keluarga besar, apa saja yang kita butuhkan. Biasanya yang dibutuhkan finansial karena Ayah dianggap mencari nafkah, lalu bagaimana ketika Ayah nggak ada dan anak harus menjalani kehidupan dengan selayaknya.” jelas Ibu Sani.
Ketika kita sudah melakukan conversation dengan keluarga, memberikan waktu pada diri sendiri untuk bersedih. Namun rasanya masih saja kurang, seakan nggak ada satu hal pun yang bisa menawar rasa sedih dan kehilangan.
Psikiater Elisabeth Kübler-Ross asal Amerika Serikat, menjelaskan bagi mereka yang mengalami rasa sedih dan kehilangan, akan mengalami beberapa tahap yang disebut Stages of Grief.
Tahap ini digunakan untuk menggambarkan proses yang dilalui mereka ketika menghadapi kehilangan dan rasa duka lainnya. Tahap ini kerap kita lewati ketika kehilangan seseorang yang dicintai.
Maka dalam melewati masa-masa berat ini, kita memerlukan keluarga dan sahabat untuk menjaga dan membimbing kita agar cepat pulih. Berikut Bumin jelaskan tahapan kesedihan yang dapat kita lalui agar intellectual dan psikis membaik.
Menjelaskan kematian
Penyangkalan (denial)
Ini merupakan tahap yang sangat amat everyday, menyangkal realita yang ada untuk mengurangi rasa sakit dan rasa kehilangan yang menimpa kita.
Parents akan berpikir, bahwa kehilangan pasangan nggak mungkin terjadi, sangat yakin akan ada banyak cara untuk mengembalikannya seperti sediakala.
Kenyataannya, kita harus tetap hadapi realita yang ada. Ini merupakan tahap yang paling sulit dari perjalanan kedukaan yang akan dilalui.
Marah (anger)
Sakit rasanya kita ditinggalkan orang tersayang, ingin rasanya menyangkal kenyataan yang ada. Bahkan Parents menganggap pasangan sebenarnya masih hidup, atau mungkin menganggap dokter memberikan kabar bohong tentang kematian pasangan kita.
Setelah sadar bahwa itu benar-benar nyata, rasanya kita ingin marah karena nggak ingin menerima realita. Kita lampiaskan emosi dengan menangis, marah, bahkan menyalahkan pasangan yang sudah tiada.
Di saat seperti ini kita perlu ruang untuk melampiaskan emosi karena sesungguhnya ini bagian dari proses duka.
Menawar (bargaining)
Setelah emosi bercampur aduk dengan kemarahan dan menyangkal keadaan, muncul keinginan besar untuk memperoleh kontrol atas hidup. Membuat kita sering berandai dengan keadaan yang semestinya kita lakukan sebelum terjadi perpisahan.
“Seandainya sempat liburan dulu sama Ayah / seandainya aku datang lebih tepat waktu ke Rumah Sakit.”
Depresi (Depression)
Setelah beberapa tahap, kita akan berusaha terus untuk melawan emosi negatif. Apapun yang kita lakukan untuk menghilangkan rasa duka, emosi itu tetap muncul sampai akhirnya kita merasa seakan putus asa.
“Bagaimana aku menjalani hidup kalau rasanya semakin berat, aku nggak tahu harus ngelakuin apa untuk bangkit.”
Tahap ini menjadi amat sulit karena hal negatif terkumpul di sini. Ada yang bilang bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya, tapi kalau Parents benar-benar merasa nggak sanggup untuk melewati masa duka ini, Bumin sarankan untuk segera berkonsultasi ke psikolog.
Penerimaan (acceptance)
Bukan artinya menerima untuk terus bersedih, tapi kita sudah mulai berdamai dengan keadaan. Ada satu titik yang membuat kita merasa berbeda karena telah melewati perubahan hidup.
Tadinya kita marah, kecewa, kesal, di tahap ini kita jadi lebih memahami arti hidup. Mulai kembali bangkit pelan-pelan dan muncul keinginan untuk menata hidup lagi.
“Ya sudah, sebaiknya aku fokus membesarkan anak. Semua pasti akan ada hikmahnya.”
Tentunya nggak semua orang melewati five tahapan kesedihan ini, ada yang langsung merasa depresi dan jadi sering marah, ada juga yang bisa langsung menerima keadaan.
Bagi Ibu yang sedang berduka, kalau Bumin boleh pesan, jangan terburu-buru untuk menyembuhkan luka. Berikan waktu pada diri sendiri untuk sembuh, nggak ada luka yang bisa pulih dalam sekejap, semua butuh proses penyembuhan.
Dalam proses pemulihan itu, Ibu perlu memiliki dukungan kerabat dekat untuk menyadarkan bahwa dunia itu luas dan banyak yang bisa kita lakukan selain terus tenggelam dalam kesedihan.
Bila Ibu merasa nggak mampu menghadapi ini, segerakan diri untuk berkonsultasi ke psikolog untuk mencegah terjadinya depresi yang lebih dalam.
Untuk Si Kecil, menjadi anak kehilangan Ayah merupakan pelajaran yang berat untuknya, ini membuktikan bahwa orang tua yang paling mencintainya nggak menjamin akan hidup lebih lama. Maka itu, kita ajarkan anak untuk bertanggung jawab dengan dirinya dari sedini mungkin.
Berikan kebiasaan baik untuk selalu mengingat Ayah yang sudah meninggal dengan mendoakannya. Bumin pernah jelasin cara berbakti pada orang tua yang sudah meninggal, kebiasaan baik ini bisa kita terapkan ke Si Kecil.
Jadi pastikan dulu kondisi Ibu sudah pulih, anak juga terus mendapat dukungan dari sekelilingnya untuk melupakan kesedihan. Ibu dan Si Kecil sama-sama bangkit untuk kembali menjalani hidup.
Sabar, sabar, sabar, semua pasti akan terlewati. This too shall skip.